Kota pantai ini terhampar di seputar “Leher Burung” pulau Papua yang terbuka ke arah perairan teluk Cendrawasih. Sangat pas dengan predikat yang disandangnya yaitu sebagai ‘Gerbang Nun Biru’. Disebut ‘Gerbang’ karena Kota ini menjadi akses utama menuju beberapa kabupaten di wilayah pegunungan Papua, seperti Paniai, Dogiyai, Deiyai, Jayawijaya dan Puncak Jaya.
Dari Kota inilah Menteri PPA, Prof. Yohana Yembise berasal. Profesor perempuan pertama dari Papua ini memang dilahirkan di Manokwari namun ia menghabiskan masa remajanya sebagai pelajar SMP dan SMA di sekolah negeri yang dibangun Pemerintah Indonesia di kota ‘Gerbang Nun Biru’ ini.
Saat saya berkunjung ke Nabire di penghujung 2014 lalu, tak ada kesan bahwa kota ini termasuk dalam daerah 3 T (Tertinggal, Terluar, Terdepan), kendati ia termasuk dalam daftar 183 Daerah Tertinggal versi Bappenas. (Lihat: http://kawasan.bappenas.go.id/ ) Untuk mencapai kota ini kita harus menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam dengan penerbangan lokal dari Jayapura atau melalui laut selama sehari semalam.
Konon, pada masa pemerintahan penjajah Belanda, banyak penduduk wilayah Papua hingga tahun 1930 belum mengetahui bahwa ada Pemerintah yang menguasai wilayahnya, karena memang nyaris tak tersentuh pembangunan di masa penjajahan Belanda. Belanda baru membangun Pos Pemerintahan di Nabire pada 1942, itupun dilakukan demi memudahkan jangkauan penguasaan atas daerah jajahannya. Nabire ditempatkan sebagai sebuah Onder Distrik, di bawah controllir Afdeling Central Nieuw Guinea yang berkedudukan di Hollandia (Jayapura). Belanda menempatkan seorang pejabat Distrik di kota ini bernama Somin Soumokil dengan jabatan sebagai H.B.A (Hooft Bestuur Assistent) http://nabirekab.go.id/sejarah/
Kendati kota ini baru diserahkan oleh Belanda kepada Pemerintah Indonesia pada 1962 melalui New York Agreement namun hampir tak ada bekas peninggalan Belanda di kota ini baik berupa bangunan maupun monumen lainnya. Pertanyaannya, selama puluhan tahun Belanda menjajah Papua, apa yang sudah ia wariskan ?
Sementara kehadiran Pemerintah Indonesia dalam 50-an tahun di kota ini (semenjak 1962) telah membuat kota berkembang cukup signifikan nyaris sejajar dengan perkembangan kota-kota kabupaten lainnya di wilayah Indonesia lainnya.
Apalagi di masa pemerintahan Jokowi saat ini yang memberikan perhatian luar biasa terhadap pembangunan wilayah Papua, seperti program prioritas pembangunan industri, tol laut, dan transportasi kereta api untuk memudahkan pengiriman logistik dari pelabuhan ke wilayah lain di Papua. Kemudahan pengiriman barang akan berkorelasi dengan turunnya harga dan meningkatnya daya beli masyarakat setempat. http://nasional.kompas.com/read/2014/12/08/1644527/Jokowi.Janji.Bangun.Rel.Kereta.Api.di.Papua.pada.2015
Namun sayangnya di kota Nabire ini masih terdapak sekelompok orang yang ikut-ikutan bergerilya di hutan bersama kelompok OPM yang sering mengganggu kelancaran pembangunan di wilayah ini. Menurut media lokal (majalah selangkah) pada akhir Desember lalu terdapat dua napi kasus makar (20 tahun) karena membobol gudang senjata milik TNI pada 2003 dan 10 orang tahanan aktivis KNPB yang menghuni kamar tahanan Polres Nabire. Mereka sedang berurusan dengan proses hukum akibat tindak pidana yang berkaitan dengan gerakan Papua merdeka.
Kelompok masyarakat seperti ini tentu saja harus mendapatkan pencerahan dan pembinaan untuk tidak melihat kehadiran Pemerintah Indonesia (termasuk Polisi dan Tentara) sebagai musuh yang harus diperangi, tetapi mitra pembangunan yang tujuannya harus satu, yaitu membawa masyarakat Papua (termasuk di dalamnya masyarakat Nabire) semakin sejahtera dan maju. [*](Veronika Nainggolan - Kompasiana)
Komentar
Posting Komentar